NAMA : AYU SULISTYA
NPM :
21212296
KELAS : 2EB24
BAB 4
HUKUM PERIKATAN
1.
Pengertian
Hukum Perikatan
Hukum perikatan adalah suatu hubungan
hukum dalam lapangan harta kekayaanantara dua orang atau lebih di mana pihak
yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibathukum, akibat
hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan
perikatan.
Di dalam hukum perikatan setiap orang
dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun
dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak,inilah
yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak
harushalal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam
Undang-undang.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk
berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan
untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yangsifatnya positif, halal,
tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan
untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang
telahdisepakati dalam perjanjian.
2.
Dasar
Hukum Perikatan
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada
di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang
dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan
manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi
perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH
Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
·
Perikatan yang timbul dari persetujuan (
perjanjian )
·
Perikatan yang timbul dari undang-undang
·
Perikatan terjadi bukan perjanjian,
tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan
perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )
·
Sumber perikatan berdasarkan
undang-undang :
·
Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) :
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan
ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak
berbuat sesuatu.
·
Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) :
Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
·
Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata )
: Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari
undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
3.
Asas-asas
Dalam Hukum Perjanjian
a.
Asas
kebebasan berkontrak
Asas ini mengandung pengertian bahwa
setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur
dalam undang-undang, maupun yang belum diatur dalam undang-undang (lihat Pasal
1338 KUHPdt).
Asas kebebasan berkontrak dapat
dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt, yang berbunyi: “Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.”
Asas ini merupakan suatu asas yang
memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
·
Membuat atau tidak membuat perjanjian;
·
Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
·
Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan,
dan persyaratannya;
·
Menentukan bentuk perjanjiannya apakah
tertulis atau lisan.
Latar belakang lahirnya asas kebebasan
berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam
zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam
zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas
Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau. Menurut paham individualisme, setiap orang
bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya.
Dalam hukum kontrak, asas ini diwujudkan
dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair in menganggap bahwa the
invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena
pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi didalam kehidupan
sosial ekonomi masyarakat. Paham individualisme memberikan peluang yang luas
kepada golongan kuat ekonomi untuk menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak yang
kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam
cengkeraman pihak yang kuat seperti yang diungkap dalam exploitation de homme
par l’homme.
b.
Asas
Konsesualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan
dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPdt. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah
satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah
pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya
tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua
belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang
dibuat oleh kedua belah pihak.
Asas konsensualisme muncul diilhami dari
hukum Romawi dan hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas
konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan
perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan
dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan
perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya,
yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan).
Dalam hukum Romawi dikenal istilah
contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa
terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas
konsensualisme yang dikenal dalam KUHPdt adalah berkaitan dengan bentuk
perjanjian.
c.
Asas
Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum atau disebut juga
dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat
perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak
ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak,
sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan
intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
Asas pacta sunt servanda dapat
disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt. Asas ini pada mulanya dikenal
dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu
perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan
dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan
oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur
keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda
diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan
sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah
cukup dengan kata sepakat saja.
d.
Asas
Itikad Baik (Good Faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal
1338 ayat (3) KUHPdt yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan
debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau
keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik
terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi (relative) dan itikad baik
mutlak.
Pada itikad yang pertama, seseorang
memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang
kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang
obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma
yang objektif.
e.
Asas Kepribadian (Personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang
menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya
untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan
Pasal 1340 KUHPdt.
Pasal 1315 KUHPdt menegaskan: “Pada
umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk
dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu
perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.
4.
Wanprestasi
dan Akibatnya
Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau
lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang
dibuat antara kreditur dengan debitur.
Ada empat kategori dari wanprestasi,
yaitu :
·
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan
dilakukannya
·
Melaksanakan apa yang dijanjikannya,
tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan
·
Melakukan apa yang dijanjikan tetapi
terlambat
·
Melakukan sesuatu yang menurut
perjanjian tidak boleh dilakukannya
Akibat-akibat wanprestasi berupa hukuman
atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wanprestasi, dapat digolongkan
menjadi tiga, yaitu :
1. Membayar
kerugian yang diderita oleh kreditur ( ganti rugi )
Ganti
rugi sering diperinci meliputi tiga unsur, yakni :
·
Biaya adalah segala pengeluaran atau
pengongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak
·
Rugi adalah kerugian karena kerusakan
barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibatkan oleh kelalaian si debitor
·
Bunga adalah kerugian yang berupa
kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan
perjanjian atau pemecahan perjanjian
Di
dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248
KUH Perdata.
3. Peralihan
resiko
Adalah kewajiban untuk memikul kerugian
jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa
barang dan menjadi objek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH Perdata.
4. Hapusnya Hukum Perikatan
Pasal 1381 secara tegas menyebutkan
sepuluh cara hapusnya perikatan. Cara-cara tersebut adalah:
a.
Pembayaran
Pembayaran dalam arti sempit adalah
pelunasan utang oleh debitur kepada kreditur, pembayaran seperti ini dilakukan
dalam bentuk uang atau barang. Sedangkan pengertian pembayaran dalam arti
yuridis tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk jasa seperti
jasa dokter, tukang bedah, jasa tukang cukur atau guru privat.
b.
Konsignasi
Konsignasi terjadi apabila seorang
kreditur menolak pembayaran yang dilakukan oleh debitur, debitur dapat
melakukan penawaran pembayaran tunai atas utangnya, dan jika kreditur masih
menolak, debitur dapat menitipkan uang atau barangnya di pengadilan.
c.
Novasi
Novasi adalah sebuah persetujuan, dimana
suatu perikatan telah dibatalkan dan sekaligus suatu perikatan lain harus
dihidupkan, yang ditempatkan di tempat yang asli. Ada tiga macam jalan untuk
melaksanakan suatu novasi atau pembaharuan utang yakni:
o
Apabila seorang yang berutang membuat
suatu perikatan utang baru guna orang yang mengutangkannya, yang menggantikan
utang yang lama yang dihapuskan karenanya. Novasi ini disebut novasi objektif.
o
Apabila seorang berutang baru ditunjuk
untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh siberpiutang dibebaskan dari perikatannya
(ini dinamakan novasi subjektif pasif).
o
Apabila sebagai akibat suatu perjanjian
baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap
siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya (novasi subjektif aktif).
d.
Kompensasi
Kompensasi adalah penghapusan
masing-masing utang dengan jalan saling memperhitungkan utang yang sudah dapat
ditagih antara kreditur dan debitur.
e.
Konfusio
Konfusio adalah percampuran kedudukan
sebagai orang yang berutang dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi satu.
Misalnya si debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh
krediturnya, atau sidebitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan
harta kawin.
Sumber :