Selasa, 11 Juni 2013

Tulisan 5

Nama : Ayu Sulistya
Kelas : 1EB21
NPM : 21212296

Cerita Kehidupan akan kasih sayang anak terhadap orangtua.



Aku adalah bungsu dari lima bersaudara. Sama seperti kakak-kakakku yang lain, aku berhasil menyelesaikan pendidikanku hingga S-1. Bagi kedua orang tuaku, anak-anaknya harus mendapatkan pendidikan minimal hingga jenjang sarjana.

Mungkin karena ayahku adalah mantan pejabat, sehingga pendidikan anak-anaknya menjadi hal yang utama. Tiga orang kakakku sudah memiliki karir yang bagus dan sudah pula meneruskan pendidikan mereka ke jenjang S-2 dan S-3. Tentu saja ayah puas dan bangga dengan keberhasilan mereka itu. Sementara aku pun sudah menjadi guru SMP, meski ditempatkan di piggiran kota yang masyarakatnya kurang maju. Namun aku bangga dan cukup puas dengan pekerjaanku saat ini. Orang tuaku pun tidak mempermasalahkannya. Berbeda dengan tiga orang kakakku yang sudah sukses, kakakku yang ke empat, sebut saja Ita [bukan nama sebenarnya] memilih jadi IBU RUMAH TANGGA! Padahal ia adalah seorang sarjana di bidang yang cukup bergengsi. Sejak kecil hingga lulus kuliah, ia adalah anak yang dibanggakan karena segudang prestasi telah diraihnya.

Terutama saat SMA sampai perguruan tinggi, ia sering mengikuti berbagai kegiatan hingga ke tingkat nasional, seperti pelatihan atau pertukaran pemuda. Kesempatan itu diperoleh karena kak Ita, karena ia aktif di berbagai organisasi tertentu. Melihat prestasi dan kegiatan-kegiatan Kak Ita yang membanggakan itu, wajar bila ayah, ibu dan kami semua berpikir kelak Kak Ita akan menjadi orang yang sukses.

Namun prediksi kami itu salah. Lima belas tahun lalu saat memutuskan akan menikah, Kak Ita memutuskan meninggalkan semua kegiatannya. Beberapa kali ayah membujuknya untuk bekerja, setidaknya menjadi pegawai negeri. Tapi entah mengapa, Kak Ita sama sekali tidak tertarik. Bahkan tawaran ayah untuk membantunya pun ia tolak. Padahal cukup banyak orang di negeri ini yang ingin menjadi pegawai negeri. Ternyata ia lebih tertarik mengabdi di lembaga-lembaga sosial  untuk mengisi hari-harinya ketimbang bekerja dan berkarier. Pilihan Kak Ita itu membuat ayah sangat kecewa.

Apabila ayah sedang membicarakan kesuksesan ketiga kakakku yang lain, beliau terlihat begitu bangga dan bahagia karena jerih payahnya menyekolahkan mereka terbayar sudah. Namun, setiap kali membicarakan Kak Ita, ayah sering mengeluh dan berkata,”Dasar anak tidak mau diatur.”

Sikap ayah itu terkadang menular padaku. setelah aku menikah, setiap kali membicarakn kesuksesan kakak-kakakku pada suami, aku juga sering mengeluhkan sikap Kak Ita,”Kalau dia punya pekerjaan mapan, mungkin hidupnya bisa lebih baik.” Kalimat itu sering kulontarkan setiap kali menceritakan keputusan Kak Ita menjadi Ibu Rumah Tangga dan relawan di beberapa yayasan sosial.

Hari berganti, tahun berlalu. Ayah dan ibu kini semakin tua. Tiga kakakku yang sudah semakin sibuk dengan bisnis dan pekerjaannya, sementara aku merantau ke kota lain karena tugas dan mengikuti suami. Kondisi ayah dan ibu yang semakin tua membutuhkan perawatan. Di sinilah kami baru melihat kontribusi Kak Ita yang begitu besar, yang justru tidak bisa dilakukan oleh anak-anak orang tuaku yang terhitung sukses. Kami semua nyaris tidak memiliki waktu untuk merawat ayah dan ibu. Di saat-saat seperti itulah, kami baru merasakan peran Kak Ita yang begitu besar. Dengan sigap dan ikhlas ia menggantikan posisi kami semua. Penuh bakti dan ketulusan ia habiskan hari-harinya untuk untuk merawat ayah dan ibu. Keputusan Kak Ita untuk tidak berkarir ternyata membawa hikmah tersendiri. Sampai-sampai kakak tertua sempat nyeletuk,”Untung saja kamu tidak sibuk bekerja.”

April 2007 lalu ayah wafat di usianya yang ke-80. Empat hari sebelum meninggal kondisi ayah sangat parah. Selama itu, Kak Italah yang mendampingi dan merawat beliau. Aku sangat bersyukur memiliki seorang kakak yang sangat berbakti pada orang tua. Dalam hati aku merasa iri karena Kak Ita punya kesempatan lebih besar untuk berbakti pada ayah dan ibu dibandingkan kami. Apalagi aku sering mendengarkan fatwa ulama yang mengatakan bahwa bila kita merawat dan mengasihi orang tua kita yang telah renta hingga tiba saatnya mereka kembali pada Tuhan, pahalanya sangat besar.

Kini Kak Ita merawat ibu yang juga mulai sakit-sakitan. Akhirnya kusadari, ternyata kebanggaan pada karir dan harta yang melimpah, tidak ada artinya tanpa bakti kepada orang tua. Aku yakin sekali, bahwa di ujung usia, ayah telah menyadari hal itu dan bersyukur karena memiliki anak seperti Kak Ita. Terima kasih Kak, kau telah membukakan mataku tentang pentingnya berbakti kepada orang tua.


Cerita kehidupan diatas mungkin bisa membuat kita sadar seberapa sayangnya orang tua terhadap kita, makanya kita tidak boleh membiarkan orang tua yang sudah tua atau sedang sakit terabaikan oleh kita. Sesibuk apapun, kita harus tetap berbakti kepada orang tua, menjaga dan merawat dengan kasih sayang yang tulus seperti dulu mereka yang merawat dan menjaga kita sewaktu kecil.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar