Nama : Ayu Sulistya
Kelas : 1EB21
NPM : 21212296
Cerita
Kehidupan akan kasih sayang anak terhadap orangtua.
Aku
adalah bungsu dari lima bersaudara. Sama seperti kakak-kakakku yang lain, aku
berhasil menyelesaikan pendidikanku hingga S-1. Bagi kedua orang tuaku,
anak-anaknya harus mendapatkan pendidikan minimal hingga jenjang sarjana.
Mungkin
karena ayahku adalah mantan pejabat, sehingga pendidikan anak-anaknya menjadi
hal yang utama. Tiga orang kakakku sudah memiliki karir yang bagus dan sudah
pula meneruskan pendidikan mereka ke jenjang S-2 dan S-3. Tentu saja ayah puas
dan bangga dengan keberhasilan mereka itu. Sementara aku pun sudah menjadi guru
SMP, meski ditempatkan di piggiran kota yang masyarakatnya kurang maju. Namun
aku bangga dan cukup puas dengan pekerjaanku saat ini. Orang tuaku pun tidak
mempermasalahkannya. Berbeda dengan tiga orang kakakku yang sudah sukses,
kakakku yang ke empat, sebut saja Ita [bukan nama sebenarnya] memilih jadi IBU
RUMAH TANGGA! Padahal ia adalah seorang sarjana di bidang yang cukup bergengsi.
Sejak kecil hingga lulus kuliah, ia adalah anak yang dibanggakan karena
segudang prestasi telah diraihnya.
Terutama
saat SMA sampai perguruan tinggi, ia sering mengikuti berbagai kegiatan hingga
ke tingkat nasional, seperti pelatihan atau pertukaran pemuda. Kesempatan itu
diperoleh karena kak Ita, karena ia aktif di berbagai organisasi tertentu.
Melihat prestasi dan kegiatan-kegiatan Kak Ita yang membanggakan itu, wajar
bila ayah, ibu dan kami semua berpikir kelak Kak Ita akan menjadi orang yang
sukses.
Namun
prediksi kami itu salah. Lima belas tahun lalu saat memutuskan akan menikah,
Kak Ita memutuskan meninggalkan semua kegiatannya. Beberapa kali ayah
membujuknya untuk bekerja, setidaknya menjadi pegawai negeri. Tapi entah
mengapa, Kak Ita sama sekali tidak tertarik. Bahkan tawaran ayah untuk
membantunya pun ia tolak. Padahal cukup banyak orang di negeri ini yang ingin
menjadi pegawai negeri. Ternyata ia lebih tertarik mengabdi di lembaga-lembaga
sosial untuk mengisi hari-harinya ketimbang bekerja dan berkarier. Pilihan
Kak Ita itu membuat ayah sangat kecewa.
Apabila
ayah sedang membicarakan kesuksesan ketiga kakakku yang lain, beliau terlihat
begitu bangga dan bahagia karena jerih payahnya menyekolahkan mereka terbayar
sudah. Namun, setiap kali membicarakan Kak Ita, ayah sering mengeluh dan
berkata,”Dasar anak tidak mau diatur.”
Sikap
ayah itu terkadang menular padaku. setelah aku menikah, setiap kali membicarakn
kesuksesan kakak-kakakku pada suami, aku juga sering mengeluhkan sikap Kak
Ita,”Kalau dia punya pekerjaan mapan, mungkin hidupnya bisa lebih baik.”
Kalimat itu sering kulontarkan setiap kali menceritakan keputusan Kak Ita
menjadi Ibu Rumah Tangga dan relawan di beberapa yayasan sosial.
Hari
berganti, tahun berlalu. Ayah dan ibu kini semakin tua. Tiga kakakku yang sudah
semakin sibuk dengan bisnis dan pekerjaannya, sementara aku merantau ke kota
lain karena tugas dan mengikuti suami. Kondisi ayah dan ibu yang semakin tua
membutuhkan perawatan. Di sinilah kami baru melihat kontribusi Kak Ita yang
begitu besar, yang justru tidak bisa dilakukan oleh anak-anak orang tuaku yang
terhitung sukses. Kami semua nyaris tidak memiliki waktu untuk merawat ayah dan
ibu. Di saat-saat seperti itulah, kami baru merasakan peran Kak Ita yang begitu
besar. Dengan sigap dan ikhlas ia menggantikan posisi kami semua. Penuh bakti
dan ketulusan ia habiskan hari-harinya untuk untuk merawat ayah dan ibu.
Keputusan Kak Ita untuk tidak berkarir ternyata membawa hikmah tersendiri.
Sampai-sampai kakak tertua sempat nyeletuk,”Untung saja kamu tidak sibuk
bekerja.”
April
2007 lalu ayah wafat di usianya yang ke-80. Empat hari sebelum meninggal
kondisi ayah sangat parah. Selama itu, Kak Italah yang mendampingi dan merawat
beliau. Aku sangat bersyukur memiliki seorang kakak yang sangat berbakti pada
orang tua. Dalam hati aku merasa iri karena Kak Ita punya kesempatan lebih
besar untuk berbakti pada ayah dan ibu dibandingkan kami. Apalagi aku sering
mendengarkan fatwa ulama yang mengatakan bahwa bila kita merawat dan mengasihi
orang tua kita yang telah renta hingga tiba saatnya mereka kembali pada Tuhan,
pahalanya sangat besar.
Kini
Kak Ita merawat ibu yang juga mulai sakit-sakitan. Akhirnya kusadari, ternyata
kebanggaan pada karir dan harta yang melimpah, tidak ada artinya tanpa bakti
kepada orang tua. Aku yakin sekali, bahwa di ujung usia, ayah telah menyadari
hal itu dan bersyukur karena memiliki anak seperti Kak Ita. Terima kasih Kak,
kau telah membukakan mataku tentang pentingnya berbakti kepada orang tua.
Cerita
kehidupan diatas mungkin bisa membuat kita sadar seberapa sayangnya orang tua
terhadap kita, makanya kita tidak boleh membiarkan orang tua yang sudah tua
atau sedang sakit terabaikan oleh kita. Sesibuk apapun, kita harus tetap
berbakti kepada orang tua, menjaga dan merawat dengan kasih sayang yang tulus
seperti dulu mereka yang merawat dan menjaga kita sewaktu kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar